PENGANTAR TAFSIR TEMATIK (MAUDHU’)
Judul Buku : Tafsir Pendidikan Islam
Pengarang : Dr
Akhmad Alim, MA
Penerbit : Al-Mawardi
Prima AMP Press (cetakan pertama, Oktober 2014)
PENGANTAR
TAFSIR TEMATIK (MAUDHU’)
Tafsir
secara bahasa artinya al-kasyfu (menyingkap), al-idzhar (menampakkan), al–bayan
(menjelaskan). Menurut
istilah adalah disiplin ilmu yang berfungsi untuk menjelas maksud kandungan
Al-Quran.
Tematik
atau Maudhu’ berasal dari bahasa Arab yang berarti meletakkan sesuatu,
menjadikan, dan membuat tema tentang sesuatu.
Adapun
secara istilah, yang dimaksud tafsir maudhu’ adalah sebagaimana perkataan
Al-Farmawi:
“Tafsir
Maudhu’ adalah mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang mempunyai maksud yang sama,
yang terkait dalam satu topik masalah, kemudian menyusunnya berdasarkan sebab
turunnya ayat-ayat tersebut, selanjutnya memberikan syarah, dan analisa, serta
mengambil kesimpulan.”
Urgensi Tafsir Maudhu
1.
Tafsir Maudhu’ lebih praktis dalam menjawab
tantangan zaman, dan memberikan solusi dari problem kontemporer.
2.
Tafsir Maudhu’ mencakup seluruh disiplin ilmu.
3.
Dapat mengetahui hubungan dan persesuaian antara
beberapa ayat dalam satu judul bahasan.
4.
Tafsir Maudhu akan
mendorong lahirnya berbagai macam disiplin ilmu baru khususnya sains.
5.
Memberikan pandangan pikiran yang sempurna, sehingga
mampu mengetahui seluruh nash-nash Al-Quran mengenai topik tersebut secara
sekaligus.
6.
Menghindari adanya pertentangan dan menolak tuduhan
daripada orientalis yang mengatakan bahwa ajaran Al-Quran bertentangan dengan
zaman dan ilmu pengetahuan sekarang.
7.
Untuk para akademis, akan lebih mudah mengetahui
secara sempurna berbagai macam topik dalam Al-Quran dengan pembahasan yang
lebih fokus dan menyeluruh.
8.
Mempelajari suatu topik bahasan Al-Quran tanpa susah
payah.
9.
Akan menarik minat belajar, menghayati dan
mengamalkan ajaran Al-Quran.
Tafsir Maudhu’ dalam Lintas
Sejarah
Tafsir
Maudhu’ sebenarnya bukanlah kajian yang baru dalam Islam. Peletakan dasar-dasarnya
telah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW. Yaitu ketika beliau menafsirkan
satu tema ayat, kemudian merelevansikannya dengan ayat yang lainnya yang
semisal. Sebagai contoh ketika Rasulullah saw menafsirkan ayat daripada surah
Al-An’am ayat 82 dengan surah Luqman ayat 13 ketika ada sahabat yang bertanya
tentang konsep ketenangan jiwa bahwa jiwa akan tenang jika tidak tercampur
kezaliman.
Kemudian masuk periode berikutnya
yaitu pada masa tabi’in dan ketika ini metode tafsir tidak jauh berbeda dengan
masa Rasulullah saw.
Periode
berikutnya adalah masa Tabi’ Tabiin. Tafsir mulai dibukukan, yang dipelopori
oleh Ibnu Jarir at-Thabary,
dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai kepada Rasulullah
saw, sahabat dan para tabi’in.
Generasi ahli tafsir berikut
mulai mengembangkan tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir (ahli tafsir)
seperti al-Qurtubi
menafsirkan ayat al-Quran
dari segi hukum kemudian ats-Tsa’laby
dan al-Khazin
yang melihat ayat al-Quran
dari segi sudut sejarah
Periode
berikutnya, yang dikenal dengan periode
Tafsir Tematik (Maudhu’), yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan
tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti contohnya Az-Zarkasyi dalam
Al-Burhan, Ibnu Qayyim dalam at-Tibyan
fi Aqsamil Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dalam Nasih wal Mansukh, al-Wahidi dalam kitab Asbabun
Nuzul dan Al-Jasshas dalam Ahkam al-Qur’an.
Metode Penafsiran Secara Umum
1.
Pertama, Tafsir Bil Ma’tsu atau Bir-Riwayah, yaitu
metode penafsirannya berfokus pada shahihul manqul (riwayat yang shahih) dengan
menggunakan penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran, Al-Quran dengan Sunnah,
Al-Quran dengan perkataan para sahabat dan penafsiran Al-Quran dengan perkataan
para tabi’in.Contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah: Tafsir
At-Thabari (Jami’ al-Bayan fii Ta’wil Ayyi Al-Quran), Tafsir Ibnu Katsir
(Tafsir Al-Quran Al-Azim), Tafsir Al-Baghawy (Maalim At-Tanzil), Tafsir Imam
As-Suyuti (Ad-darru Al-Mantsur fii Al-Tafsir bi Al-Mantsur)
2.
Kedua, Tafsir Bir-Ra’yi (Dirayah). Metode ini
mencakup dua bagian (1) Ar-Ra’yu Al-Mahmudah (Penafsiran dengan akal sehat yang
dipuji) dengan ijtihad yang tidak keluar dari nilai-nilai Al-Quran dan Sunnah,
serta tidak bertentangan dengan riwayat yang shahih. Contoh kitabnya seperti
Tafsir Al-Qurthubi (Al-Jami’ Liahkami Al-Quran), Tafsir Al-Jalalain (Tafsir
Jalalain), Tafsir Baidhawy (Anwaru At-Tanzil wa Asraru At-Ta’wil). (2) Ar-Ra’yu
Al-Mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela), karena tertumpu pada
penafsiran makna dengan pemahaman logika semata, tanpa landasan riwayat yang
shahih. Contoh kitabnya Tafsir Zamaksyari (Al-Kasysyaf an Hakoik At-Tanzil wa
Uyun Al-Aqowil fii Wujuh At-Ta’wil) dan Tafsir syiah “dua belas”.
Metode Tafsir Tematik (Maudhu)
1.
Menetapkan masalah yang akan dibahas.
2.
Menghimpun seluruh ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan
dengan masalah tersebut.
3.
Menyusun urutan-urutan ayat terpilih sesuai dengan
perincian masalah dan atau masa turunnya.
4.
Mempelajari korelasi (munasabat) masing-masing ayat
dengan surah-surah di mana ayat tersebut tercantum.
5.
Melengkapi bahan-bahan dengan hadis-hadis yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas.
6.
Menyusun outline pembahasan dalam kerangka yang
sempurna sesuai dengan hasil studi masa lalu.
7.
Mempelajari semua ayat yang terpilih secara
keseluruhan dan atau mengkompromikan antara yang umum dengan yang khusus.
8.
Menyusun kesimpulan penelitian yang dianggap sebagai
jawaban Al-Quran terhadap masalah yang dibahas.
Pembagian Tafsir Tematik
(Maudhu’)
1.
Musthalah Qur’ani, yaitu tafsir maudhu’ yang
berhubungan dengan istilah-istilah yang ada dalam Al-Quran.
2.
Maudhu Qur’ani, yaitu tafsir maudhu’ yang
berhubungan dengan tema tertentu yang terdapat dalam Al-Quran.
3.
Surah Qur’aniyah, yaitu tafsir maudhu yang
berhubungan dengan surat tertentu dalam Al-Quran.
Adab Penafsir Al-Quran
1.
Beraqidah shahihah dan memiliki worldview yang
lurus, tidak sekuler, liberal maupun syiah.
2.
Tidak mendahulukan kepentingan hawa nafsu semata.
3.
Menafsirkan dengan sesuai dengan urutan penafsiran,
yaitu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, kemudian dengan As-Sunnah,
perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in.
4.
Paham bahasa Arab dan disiplin ilmu yang
mendukungnya, karena Al-Quran turun dengan bahasa Arab.
LANDASAN
IDEOLOGIS PENDIDIKAN.
Dalam
sebuah pendidikan diperlukan sebuah fondasi yang kokoh untuk berdiri tegak,
demikian dengan pendidikan, untuk membangunnya diperlukan sebuah landasan yang
kuat sebagai fondasi yang kokoh.
Problem
yang paling mendasar, yang kurang disadari oleh kebanyakan pakar pendidikan
adalah masalah landasan pendidikan ideology pendidikan yang dipengaruhi oleh
worldview barat. Salisu shehu menjelaskan bahwa worldview barat sekuler ini
bisa menampilkan dirinya dalam tiga bentuk: worldview humanis, agnostik, atau
ateis. Pada worldview ini, kepercayaan terhadap keberadaan tuhan tidak terlalu
diperhatikan, kalaupun keradaan tuhan disadari, tetap saja tidak dianggap
memiliki signifikasi terhadap kehidupan.Lebih jauh, keberadaan Tuhan dapat
dianggap sebagai mitos dan bagi mereka yang benar-benar wujud hanyalah materi.
Worldview
barat sekuler ini telah masuk ke negeri muslim pada masa penjahahan kolonial.
Memang saat ini, para penjajah itu sudah hengkang, namum produk pendidikan
sekuler warisan mereka masih digunakan sampai sekarang. Pendidikan sekuler ini
lah yang pada akhirnya menghasilkan krisis dualism yang digambarkan dengan
adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu non agama. Saat ini, sebagaimana yang
digambarkan William C. Chittick, banyak pemikir modern yang beriman tidak bisa
menghindarkan diri dari benak yang terkompartemenkan atau dengan kata lain
telah terjadi keterbelahan dalam pikirannya. “Satu kompartemen pikiran akan
mencakup ranah professional dan rasional, sedangkan kompartemen yang lain
menampung ranah ketakwaan dan amal pribadi.
Kajian Teoritis
Menurut
Anas Ahmad Karzon, bahwa landasan utama dalam membangun pendidikan adalah
fondasi tauhid. Sebagaimana dalam pengertian syahadatain “aku bersaksi bahwa
tiada tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad Saw adalah utusan Allah”
Tauhid
adalah dasar ajaran Islam
yang paling fundamental. Bahkan tauhid selain prinsip utama secara keseluruhan
dalam hal keimanan, secara umum tauhid juga prinsip utama dalam konstruk
epistemologi Islam,
termasuk dalam upaya melakukan integrasi ilmu, bahkan konstruk pendidikan Islam.
Mengenai
tauhid sebagai prinsip pengetahuan yang memberi bukti bahwa iman dalam Islam adalah standar rasionalitas,
Al-Faruqi menulis lebih lanjut: iman adalah dasar bagi suatu penafsiran yang
rasional atas alam semesta. Iman juga merupakan prinsip utama dari akal, tidak
mungkin bersifat non-rasional atau irasional, dan dengan demikian bertentangan
dengan dirinya sendiri. Iman sungguh merupakan prinsip rasionalitas yang
pertama, menyangkal atau menentangnya sama dengan menggelincirkan diri dari
kebernalaran dan karenanya dair kemanusiaan.
Kajian Tafsir.
Tauhid
sebagai landasan ilmu tersebut dibangun atas firman Allah dalam Al-Quran surat
Ibrahim ayat 24-27.
Pada
ayat tersebut menggambarkan dengan jelas akan pengaruh tauhid dalam semua hal,
termasuk dalam masalah pendidikan.
TUJUAN
PENDIDIKAN
Aktivitas
apapun haruslah memiliki tujuan, atau niat yang benar, tanpa kecuali
pendidikan. Karena tanpa tujuan dan niat, proses yang ditempuh akan kehilangan
arah dan arti, yang pada akhirnya berujung pada kegagalan.
Tujuan
pendidikan merupakan masalah sentral dalam filsafat pendidikan, jika benar
dalam merumuskannya maka semua proses pendidikan akan menemukan jalan
kesuksesan, namun jika salah dalam merumuskan tujuan pendidikan, maka semua proses pendidikan
hampir pasti akan berakhir dengan kegagalan.
Berbicara
tentang tujuan pendidikan bukanlah hal yang mudah, berbagai macam teori telah
dikemukakan oleh banyak pakar di negeri kita, meskipun demikia, terkadang hal
itu justru menambah problem baru ketimbang menawarkan suatu solusi, hal ini
sebagaimana yang ditegaskan oleh Dr. Dinar Kania pakar di bidang Filsafat
Pendidikan, bahwa problem pendidikan di Indonesia saat ini seperti tumpukan
benang kusut yang sulit diuraikan. Berbagai upaya dan terobosan terus dilakukan
untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Oleh
karena itu, perlu langkah untuk merumuskan kembali tujuan pendidikan yang
sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw serta mengacu kepada
tradisi intelektual Islam
yang telah membawa kegemilangan dan kesejahteraan kepada umat manusia selama
berabad-abad. Jika ini terealisasi, maka akan pendidikan mampu mencetak
manusia-manusia beradab yang mampu menjadi rahmat bagi semesta alam.
Kajian Teoritis
Adian
Husain dalam catatannya yang disampaikan dalam diskusi sabtuan di INSIST, 12
Juni 2010 mengatakan bahwa inilah hakekat dari tujuan pendidikan, yakni
mencetak manusia yang baik, sebagaimana dirumuskan oleh Prof. S.M Naquib
al-Attas dalam bukunya, jika dialih bahasakan seperti berikut “Orang baik” atau
good man, tentunya adalah manusia yang
berkarakter dan beradab. Tidak cukup seorang memiliki berbagai nilai keutamaan
dalam dirinya, tetapi dia tidak ikhlas dalam mencari ilmu, enggan menegakkan
amar ma’ruf dan nahi munkar, dan suka mengumbar aurat dan maksiat. Pendidikan,
menurut Islam,
haruslah bertujuan membangun karakter dan adab sekaligus!”
Kajian Tafsir
Allah
swt tidak menciptakan Jin
dan manusia bukanlah sia-sia, tetapi, ada tujuan dibalik penciptaan mereka,
yang tidak lain adalah tujuan ibadah. Dalam arti menyembah Allah Swt,
mengesakan, mengagungkan, membesarkan, dan menaati-Nya, dengan melakukan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Sebagaimana firman-Nya Swt.
“Dan aku tidak menciptakan Jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.” (Q.S Adz-Dzariyat: 56)
Imam As-Sa’di menafsirkan ayat
ini, bahwa tujuan penciptaan Jin
dan manusia adalah agar mereka menjadi hamba Allah yang taat beribadah.
Imam
Al-Baghawi menukit perkataan dari kalangan tabi’in yaitu Imam Mujahid, bahwa
tujuan hidup manusia adalah ma’rifatullah, yaitu mengenal Allah sebagai
satu-satunya Rabb yang diibadahi yang memiliki sifat –sifat yang sempurna.
Al-Qurthubi
menafsirkan, bahwa tujuan hidup manusia adalah agar mereka menjadi hamba yang
bertauhid
Az-Zamaksyari
menafsirkan ayat ini bahwa hakikat tujuan manusia adalah beribadah, jika
manusia tidak mau beribadah, berarti hakikatnya ia bukanlah manusia yang diakui
sebagai hamba Allah.
As-Sam’ani
menambahkan penafsirannya dengan “al-inqiyad”, yaitu tujuan diciptakan manusia
agar mereka senantiasa taat terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh
Allah.
Ar-Razi
mengaitkan ayat tersebut dengan surah Al-Hujurat ayat 13, yang mana tujuan
hidup manusia yang paling mulia adalah agar mereka menjadi hamba yang bertaqwa.
Tujuan Implementatif
1.
Tujuan Umum pendidikan
2.
Tujuan Institusional
3.
Tujuan Kurikuler
4.
Tujuan Instruksional.
KURIKULUM
PENDIDIKAN
Sejak
tahun 1947 hingga kini, Indonesia sudah sembilan kali pergantian kurikulum.
Menurut Prof. Ahmad Tafsir, penggantian kurikulum tersebut hanya bersifat
tambal sulam. Watak masa depan memang sering diungkapkan, tetapi tidak
diantisipasi secara memadai dalam kurikulum. Memang akhir-akhir ini ada
kurikulum lokal, tetapi belum juga ada kurikulum global.Sebenarnya yang
dibutuhkan adalah kurikulum global ketimbang kurikulum lokal.
Kurikulum
merupakan salah satu komponen pendidikan yang memiliki kedudukan dan peranan
penting dalam mengembangkan keperibadian murid.Kurikulum haruslah bersifat
komprehensif dan proporsiona.Komprehensif berarti susunan secara menyeluruh dan
mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia, baik aspek rohani dan jasmani.Proporsional
artinya susunannya seimbang antara aspek rohani dan jasmani juga. Jika
kurikulum tidak disusun secara komprehensif dan proporsional maka akan
melahirkan generasi atau output yang memiliki pribadi yang pecah dan
mengembang.
Abdurrahman
asn-Nahlawi menyatakan bentuk kurikulum modern ada tiga bentuk:
1.
Kurikulum Materi-Terpisah (Teori Bakat)
2.
Kurikulum Materi-Integral
3.
Kurikulum Terpusat
4.
Kurikulum Proyek
Bentuk-bentuk
kurikulum pendidikan modern diatas jika ditelaah secara seksama, akan terlihat
bahwa bentuk-bentuk kurikulum itu, seluruhnya adalah untuk pengembangan
kecerdasan ranah intelektual semata, sedangkan untuk kecerdasan ranah emosional
dan apalagi spiritual terabaikan. Karena memang tidak ada satupun metodologi
pendidikan modern barat bertujuan untuk mengembangkan kecerdasan ranah
spiritual. Sebab, masalah ranah spiritual atau agama adalah masalah pribadi
yang tidak memiliki hubungan dengan realitas sosial.
Kajian Teoritis
Secara
harfiah kurikulum berasal dari bahasa latincurriculum
yang berarti bahan pengajaran. Terdapat juga dalam bahasa Yunani kuno berasal
dari kata curir yang artinya pelari,
dan curere yang artinya tempat
berpacu.
Pengertian ini sejalan dengan
pendapat Crow dan Crow yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran
yang isinya berupa sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik yang
diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu pendidikan tertentu.
Dalam
bahasa Arab istilah kurikulum diterjemahkan dengan kata manhaj, yang berarti seperangkat rencana pengajaran dan media untuk
mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang
diinginkan.
Ahmad
Tafsir mengartikan kurikulum sebagai sebuah program, karena esensi kurikulum
adalah program itu sendiri, yaitu program dalam mencapai tujuan pendidikan.
Kemudian konsep kurikulum dapat
ditinjau dalam empat dimensi yaitu:
1.
Kurikulum sebagai suatu ide yang dihasilkan melalui
teori-teori dan penelitian.
2.
Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis.
3.
Kurikulum sebagai suatu kegiatan dari kurikulum
sebagai suatu rencana tertulis.
4.
Kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan
konsenkuensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan, dalam bentuk ketercapaian
tujuan kurikulum.
Kajian tafsir
1. Kurikulum
Tauhid.
“Dan (ingatlah) ketika luqman
berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S Luqman: 13)
Dalam
ayat ini, kurikulum pertama yang diperkenalkan luqman kepada anaknya adalah
kurikulum tauhid.Yaitu agar tidak menyekutukan Allah dengan sesembahan yang
lainnya.Karena menyembah kepada selain Allah berarti telah menjerumus pada
perbuatan syirik.Kesyirikan itu amat jelek dan berakibat jelek, serta kezaliman
yang nyata karena kesyirikan adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Siapa yang menyamakan antara pencipta dengan yang diciptakan (makhluk), antara
patung dengan tuhan, tidak diragukan lagi, dia adalah orang yang bodoh yang
dijauhkan oleh Allah dari hikmah dan akal sehat, sehingga pantas untuk disebut
zalim.
2. Kurikulum
Akhlak.
“Dan kami perintahkan kepada
manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya, ibunya telah mengandungnya
dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun,
bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan
orang-orang yang kembali kepadaKu, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S Luqman: 14-15)
Sesudah
perintah tauhid dilaksanakan, maka pada ayat ini merupakan perintah kepada
semua anak, supaya mereka berbuat baik kepada kedua orang tuanya, karena
sesungguhnya kedua orang tua mereka menjadi penyebab pertama bagi keberadaan
mereka di dunia.
3. Kurikulum
Sejarah.
“Dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka kuberitakan kepadamu
apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S Luqman: 14-15)
Ayat
ini secara tegas memerintahkan kita, agar mengikuti jalan orang shalih, yaitu
dengan membaca, mengkaji, serta mencontoh dari kebaikan yang mereka lakukan,
karena mereka telah menempuh jalan lurus dalam menghadap Allah. Dengan cara itu, kita terinspirasi
banyak hal tentang kebaikan hidup di dunia dan akhirat.
4. Kurikulum
Sains.
“(Luqman berkata): “Hai anakku”,
sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam
batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya
(membalasinya), sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Q.S
Luqman: 16).
Ayat
ini mengisyaratkan pentinya untuk mengenal alam, dimana di dalamnya terdapat
tanda kekuasaan Allah.Tidak ada sesuatu yang paling kecil di alam ini kecuali
di bawah pengetahuan Allah.Inilah sebenarnya tujuan mengetahui ilmu alam, yaitu
agar kita senantiasa merasa keagungan kekuasaan Allah, sehingga kita semakin
dekat dengan-Nya.
5. Kurikulum
Ibadah, Dakwah, Sosial.
“Hai anakku, Dirikanlah shalat
dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu,
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.
Apa
ayat ini, terungkap tiga pesan yang beriringan, yaitu shalat, dakwah, dan
sosial. Dengan menegakkan shalat berarti melakukakan perbaikan spiritual,
memperkuat kepribadian dan meneguhkan hubungan dengan Allah, agar lidah, hati
dan seluruh anggota badan selalu berada dalam bimbingan Allah, sehingga teraih
keshahihan individu, setelah itu, maka akan lahir amal-amal kebajikan yang
tercermin dalam amar ma’ruf dan nahi munkar, sebagai wujud keshahihan sosial.
6. Kurikulum
Tazkiyatunnafs
“Dan janganlah kamu memalingkan
mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri.” (Q.S Luqman: 18)
Melalui
ayat ini, Allah melarang manusia bersikap sombong karena sombong, congkak, dan
membanggakan diri kepada manusia adalah penyakit berbahaya yang disebabkan
karena kebodohan dan jiwa yang kotor.
7. Kurikulum
Etika Sopan Santun.
“Dan sederhanalah kamu dalam
berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara
keledai” (Q.S Luqman: 19)
Dalam
ayat ini, terdapat pesan etika kesopanan dalam hidup bermasyarakat.Seperti
etika berjalan, agar berjalan sopan, etika berbicara sopan dan etika sosial
lainnya.
METODOLOGI
PENDIDIKAN.
Metode
pendidikan merupakan suatu cara yang digunakan pendidik untuk menyampaikan
materi pelajaran, keterampilan, keteladanan, atau sikap tertentu agar proses
pendidikan berlangsung efektif, dan tujuan pendidikan tercapai dengan baik.
Pemilihan
metode yang tepat akan menentukan keberhasilan sebuah proses pendidikan,
demikian juga penerapan metode yang kurang tepat akan membuat proses pendidikan
menjadi gagal, suasanan pembelajaran akan terasa bosan sehingga siswa sulit
menerima pelajaran. Bahkan materi yang mudah akan terasa sulit. Mendidik dengan
cara salah sering menimbulkan penolakan. Sebaiknya, ketepatan memilih metode
akan membuat transfer ilmu dan sikap terasa mudah dan menyenangkan. Untuk itu,
seorang guru harus sering berlatih untuk menemukan metode yang tepat bagi
muridnya.
Kajian Teoritis
Secara
harfiyah metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta yang berarti menuju, dan
hodos yang berarti jalan atau cara tertentu. Metodos berarti menuju jalan atau
cara tertentu.Dalam arti luas, metode mengandung pengertian cara bertindak
menurut sistem aturan tertentu.
Sementara
dalam bahasa Arab kata metode diungkapkan dalam bentuk kata thariqah yang
berarti jalan, dan manhaj yang berarti sistem, serta wasilah yang berarti
perantara.Dari kedua bahasa tersebut sepertinya tidak terjadi perbedaan makna.
Secara
istilah, menurut Abuddin Nata metodologi dapat diartikan sebagai cara-cara yang
dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, yaitu
perubahan-perubahan kepada keadaan yang lebih baik dari sebelumnya.Dengan
demikian, metode ini terkait dengan perubahan dan perbaikan.
Dan
dalam tataran konseptual, metodologi pendidikan dalam Islam, selalu berlandaskan pada
aspek-aspek yang terkandung dalam ajaran islam itu sendiri yang bersumber dari
Al-quran, sunnah serta ijtihad dan pemikiran ulama-ulama islam.
Kajian Tafsir
“Serulah (manusia) kepada jalan
tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa
yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat
petunjuk.” (Q.S An-Nahl: 125)
Ayat
ini menurut Al-Qurtubi, diturunkan di Makkah ketika Rasulullah saw
diperintahkan untuk menghadapi kekejaman kaum Quraisy. Allah memerintahkan
mengajak mereka kepada agama Allah dan menjalankan syari’at-Nya dengan penuh
hikmah, mau’izhah hasanah, dan mujadalah dengan cara terbaik. Pola ini diduga
kuat akan mendorong mereka beriman.
Dari
ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa ada beberapa alternative dalam
menggunakan metode dalam mengajak kebaikan yaitu berupa metode hikmah,
mau’izhah hasanah, dan mujadalah.
Metode
hikmah banyak dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam banyak hal. Kemudian metode
mau’izhah hasanah terangkum dalam bahasa penyampaian yang variatif, dan
kondisional, yaitu qaulan baligha, qaulan Maysiura, qaulan kariman, qaulan
sadidun dan qaulan hasana.
Sementara
metode mujadalah merupakan metode dialogis untuk menemukan suatu jawaban yang
argumentatif.
EVALUASI
PENDIDIKAN
Evaluasi
pendidikan yang dilakukan dengan cara
pragmatis akan menghasilkan lulusan yang pragmatis pula. Evaluasi pragmatis
selalu mengukur dengan angka yang dihasilkan tanpa melihat proses pendidikan
yang panjang. Kelulusan hanya dinilai atas dasar angka ujian kognitif dari
masing-masing siswa, bukan diarahkan pada uji kelulusan akhlak mereka.Pantas
jika lulusan yang ada tidak berkualitas, dan tidak bisa dipertanggungjawabkan
secara moral. Dengan kata lain, cerdas secara intelektual, dan skill yang
tinggi, namun akhlak dan kepribadiannya sangat memprihatinkan.
Evaluasi
yang semacam ini sangat pragmatis dan dualistic, dan tentu tidak dibenarkan
dalam konsep pendidikan islam, evaluasi tidak hanya menilai kelulusan peserta
didik hanya dari segi kognitif saja, akan tetapi keberhasilan pendidikan
dinilai dari perubahan sikap anak didik ke arah yang lebih baik, sehingga
kualitas ditentukan oleh kualitas adabnya.
Kajian Teoritis
Dalam
bahasa Arab istilah evaluasi dikenal dengan istilah taqwim atau taqyim, serta
qayyim yaitu jamak dari qimah.
Pada
dasarnya evaluasi adalah sebuah kegiatan mengukur dan menilai, mengukur berarti
membandingkan sesuatu dengan satu ukuran, yang mana pengukuran di sini lebih
bersifat kuantitatif, sedangkan menilai berarti mengambil suatu keputusan
terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk, sehingga penilaian di sini bersifat
kualitatif. Dalam istilah asingnya, pengukuran adalah measurement, sedangkan penilaian adalah evaluation. Dari kata evaluation inilah diperoleh kata
Indonesia evaluasi yang berarti menilai yang diawali dengan mengukur terlebih
dahulu.
Kajian Tafsir
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu
seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa
kepada mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S Al-Hasyr:
18-19)
Dua
ayat ini menurut As-Sa’di adalah pokok dari semua evaluasi. Beliau mengatakan:
“ayat ini merupakan pokok evaluasi diri, yang sudah seharusnya dilakukan oleh setiap
orang mukmin, dengan demikian jika ia melihat pada dirinya kesalahan, maka ia
akan segera meninggalkan serta bersegera memperbaikinya, jika ia melihat
kekurangan, maka ia akan segera menyempurnakannya. Sebaliknya, jika orang tidak
melakukan evaluasi, maka ia akan lupa diri dan diperbudak syahwatnya, sehingga
ia tidak dapat menemukan suatu manfaat dalam kehidupan, maka jadilah ia orang
yang merugi di dunia dan akhirat, serta dikelompokkan dalam barisan orang-orang
fasik.”
KOMPETENSI
GURU.
Kualitas
pendidikan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas para gurunya,
sebagus-bagusnya rancangan kurikulum, teknologi pendidikan, ataupun perencanaan
pendidikan, jika tanpa guru yang berkualitas, maka tidak akan membawa
kesuksesan dalam meraih tujuan pendidikan. Artinya keberhasilan proses
pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas para gurunya. Hal itu karena guru
memiliki peran yang amat penting, terutama sebagai agent of change melalui proses pembelajaran.
Namun
amat disayangkan, kualitas guru di negeri kita tercinta ini masih jauh dari
harapan. Menurut Wakil Sekretaris Jendral Komisi Nasional Pendidikan
Sukmawardana, kualitas dan kompetensi guru masih sangat memprihatinkan saat
ini. Hal tersebut dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang malas mengembangkan
kemampuan diri, tidak berpijak pada program mengajar, tidak menguasai metode
mengajar yang dapat membuat minat belajar siswa meningkat.
Kajian Teoritis
Kata
implementasi secara bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kecakapan atau
kemampuan. Dalam bahasa Inggris, W. Robert Houston mendefinisikan kompetensi
dengan, “competence ordinarily is defined
as adequacy for a task or as possessi on of require knowledge, skill, and
abilities” (suatu tugas yang memadai atau pemilikan pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang. Dalam bahasa
Arab kompetensi disebut dengan istilah Al-Kafa’ah, dan juga Al-Ahliyah, yang
berarti memiliki kemampuan dan keterampilan dalam bidangnya sehingga ia
mempunyai kewenangan atau otoritas untuk melakukan sesuatu dalam batas ilmunya
tersebut.
Secara
istilah, kompetensi guru menurut Prof. Dede Rosyada, adalah pengetahuan,
keterampilan dan nilai-nilai yang direfleksikan oleh seorang guru dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak.
Kajian Tafsir
“Dan sesungguhnya telah kami
berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah, dan
barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk
dirinya sendiri, dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S Luqman: 12)
Ayat
ini memberi indikasi bahwa Allah Swt menganugerahi hikmah kepada Luqman
sehingga bebas dari bahaya kesesatan yang nyata.Melalui ayat ini Luqman dikenal
sebagai ahli hikmah (Luqman Al-Hakim), yang profilnya dapat dijadikan contoh
oleh para pendidik yang hendak mendidik anak muridnya.
Luqman
bukan seorang Nabi, tapi hamba yang shalih, yang berasal dari rakyat biasa dari
kota Sudan, memiliki kekuatan dan mendapat hikmah dari Allah, namun dia tidak
menerima kenabian.
Buya
Hamka dalam Tafsir al-Azhar menegaskan bahwa di dalam mencari intisari Al-Quran
tidaklah penting untuk mengetahui dari mana asal usul Luqman, pelajaran yang
terpenting adalah dari ayat tersebut adalah dasar-dasar hikmah yang
diwasiatkannya kepada putranya yang mendapat kemuliaan demikian tinggi.
Hikmah
dalam Al-Quran adalah pengetahuan yang disertai dengan berbagai rahasia dan
manfaat hukum, sehingga dapat mendorong seseorang untuk mengamalkan sesuatu
petunjuk, itulah sebabnya Ibnu Umar mengatakan bahwa Al-Quran adalah kumpulan
hikmah.
Terdapat
beberapa penafsiran tentang maksud hikmah tersebut, seperti kemampuan berpikir,
pemahaman makna dengan akal pikiran, paham, ucapan yang benar, mengetahui
segala hal dan melaksanakan kebaikan, sehingga sesuai di antara amal dan ilmu
yang dimiliki. Inilah hikmah atau karunia yang telah diperoleh luqman, sehingga
ia mampu mengerjakan sesuatu amal dengan tuntutan ilmunya sendiri.
Kajian Implementatif
Berdasarkan
kajian tafsir surat Luqman ayat 12 tersebut dapat dikembangkan “kompetensi Guru
Berbasis Hikmah”, dengan deskripsi sebagai berikut:
1.
Kompetensi Keilmuan (al-ilm al-muhkamah)
2.
Kompetensi Akhlak (al-hilmu)
3.
Kompetensi Profesional (al-ta’anni)
4.
Kompetensi Islamic World View (ishabah al-haq)
5.
Kompetensi agama (al-diyanah)
PENDIDIKAN
JIWA
Ciri
khas manusia modern adalah lebih percaya pada rasionalitas, sains dan
teknologi, serta menempatkanya sebagai instrumen untuk mengendalikan alam.
Perdana Menteri India pertama Jawaharal Nehru – seorang agnostik, mengatakan,
hanya sains dan teknologi saja yang dapat menyelesaikan problem kelaparan dan
kemiskinan, rendahnya tingkat kesehatan dan keberaksaraan, takhayul, adat yang
mematikan, dan tradisi, mubazirnya sumber daya, negeri yang kaya yang dihuni
orang-orang lapar. Siapa yang mampu mengabaikan sains pada masa sekarang?Pada
setiap hal kita membutuhkan bantuannya. Masa depan itu milik sains dan siapa
saja yang berteman dengannya.
Dampak
negative dari pandangan rasionalitas tersebut telah menjadikan worldview manusia modern cenderung
menilai segala sesuatu hanya sebatas pandangan empiris, dan berdasar pada sudut
pandang pinggiran eksistensi.Sementara pandangan tentang spiritual atau pusat
spiritualitas dirinya, terpinggirkan.Maka dari itu, meskipun secara material manusia
mengalami kemajuan yang spektakuler secara kuantitatif, namun secara kualitatif
dan keseluruhan tujuan hidupnya, manusia mengalami krisis spiritual yang sangat
menyedihkan.
Danah
Zohar, seorang fisikawan barat dalam bukunya
Spiritual Quotient (SQ) menuturkan problematika utama yang dialami
masyarakat dunia saat ini. Menurutnya, isu utama manusia modern adalah krisis
makna. Banyak penulis mengatakan bahwa kebutuhan akan makna merupakan krisis
paling penting di zaman ini. Zohar menceritakan pengalamannya ketika dia
menyampaikan kuliah di luar negeri dari berbagai negara dan budaya di seluruh
dunia, tema pembicaraan orang-orang yang berkumpul adalah berkisar pada
persoalan Tuhan, makna, visi, nilai dan kerinduan spiritual. Menurutnya banyak
orang yang telah mencapai kemapanan materi namun masih merasakan kehampaan,
namun mereka yang mencari pemenuhan spiritual tidak melihat hubungan antara
kerinduan mereka dengan agama formal.
Singkatnya,
manusia modern cenderung melepaskan diri dari keterkaitan dengan Tuhan, untuk
selanjutnya membangun tatanan yang berpusat pada manusia. Manusia dipandang
sebagai makhluk bebas dan independen dari Tuhan dan alam, karena manusia
menjadi tuan atas nasib dirinya sendiri. Dari sini, terjadilah apa yang disebut
kultus pesona. Sebagai kelanjutan dari kultus pesona ini adalah berkembangnya
gagasan tentang kebebasan dan utopia, yang berdiri sendiri tanpa dasar kosmis
atau tanpa hubungan dengan The Higher
Consciousness. Akibatnya, kehidupan manusia terdominasi oleh hipnotis
atmosfer modernitas, yang pada gilirannya akan membuat manusia lengah dan tidak
menyadari bahwa dimensi spiritualnya terdistorsi, sehingga tidak mengherankan
jika akar spiritualitas tercabut dari panggung kehidupan global.
Kajian Teoritis
Konsep
tentang jiwa merupakan konsep yang cukup sulit untuk dipahami dan dijelaskan
dalam sebuah pengertian.Hal itu dikarenakan banyaknya perngertian secara
epitemologi yang diajukan oleh para ahli ilmu jiwa, sehingga banyak memunculkan
persepsi yang berbeda-beda atau bahkan pengaburan arti.Akibatnya sering timbul
perbedaan pendapat mengenai perngertian yang berbeda, sesuai dengan minat,
paradigm, dan aliran masing-masing.Tidak hanya itu saja, jiwa juga mempunyai
hubungan yang kompleks dengan konsep lainnnya, seperti jasad, ruh, sadr, qalb, dan aql.
Dalam
bahasa Arab sendiri, kata jiwa diterjemahkan dengan kata nafs. Oleh karena itu,
ilmu jiwa dalam bahasa Arab disebut dengan nama Ilmu Nafs. Nafs dalam arti jiwa telah dibicarakan para ahli sejak kurun
waktu yang sangat lama.Dan persoalan nafs
telah dibahas dalam kajian filsafat, psikologi, ilmu kalam, ilmu tasawuf,
tafsir, dan hadits.
Manusia
terdiri dari dua unsur, yaitu unsur yang terdiri dari jasad dan ruh, sehingga
manusia merupakan makhluk jasadiyah dan
ruhiyah sekaligus.Hubungan keduanya
bagaikan hubungan antara seorang nahkoda dengan sebuah perahu, dimana nahkoda
berfungsi sebagai pengatur dan pengarah tujaun jalannya perahu, dan menenangkan
arus air yang membawa perahu tersebut serta menjaganya di tengah-tengah hembusan
gelombang.
Realitas
yang mendasari dan prinsip yang menyatukan apa yang kemudian dikenal sebagai
manusia bukanlah perubahan jasadnya, melainkan keruhaniannya. Hal itu
dikarenakan manusia pada hakikatnya adalah makhluk ruhani, yang esensinya
bukanlah fisiknya dan bukan pula fungsi fisik, melainkan jiwa (nafs)adalah identitas esensial manusia
yang tetap. Sebab, fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat dan fungsi fisik
adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, keberadaannya tergantung kepada
fisik, dengan demikian, manusia merupakan substansi immaterial yang berdiri dan
merupakan subyek yang mengetahui.
Kajian Tafsir
“Demi jiwa dan penyempurnaannya,
maka ia mengilhaminya dengan keburukan (fujur) dan kebaikan (taqwa), sungguh
sangat beruntung orang yang membersihkannya.” (Q.S Al-Syams: 7-10)
Dari
empat ayat diatas, Ibnu Jauzi menafsirkan bahwa jiwa memiliki potensi baik dan
buruk.Ia berpotensi taqwa (baik) jika selalu mensucikannya dari segala hal yang
mengotorinya, dan memperbanyak melakukan ketaatan, amal shalih, serta
menjauhkan diri dari segala dosa dan maksiat.
Imam
Nawawi menambahkan, bahwa untuk mengapai jiwa yang bersih (nafs thahirah), diperlukan usaha untuk senantiasa memperbaikinya
dan menjaganya dari segala hal yang akan merusaknya. Lebih jelasnya beliau
berkata:
“Bahwa mendidik jiwa merupakan
suatu usaha untuk memperbaiki hati dan menjaganya dari kerusakan.”
Sebaliknya,
jiwa juga berpotensi fujur (buruk),
jika tidak dijaga dari segala hal yang akan mengotorinya, yaitu berupa
perbuatan kekufuran dan kemaksiatan.
Penafsiran
Ibnu Jauzi ini, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah bahwa jiwa haruslah selalu dijaga dengan sungguh-sungguh (mujahadah nafs) dari segala hal yang
mengotorinya. Mujahadah nafs tidak
akan pernah terwujud, jika tidak dibarengi dengan kemurnian tauhid, dan
menjauhi perbuatan syirik, karena tauhid adalah benteng terkuat dalam
melindungi jiwa dari segala hal yang akan mengotorinya. Sementara syirik
berfungsi sebagai penghancur benteng tersebut, sehingga jiwa menjadi kotor
olehnya.
Kajian Implementatatif
Hakikat Pendidikan Jiwa
Banyak
istilah dari pendidikan Islam
baik dalam bahasa Arab maupun bahasa kontemporer. Dari sekian banyak istilah,
istilah yang tepat untuk pendidikan jiwa adalah Tazkiyah An-Nafs. Hal itu cukup beralasan, karena istilah Tazkiyah An-Nafs memiliki landasan yang
kuat dan sudah ada dalam Al-Quran yaitu pada surah Al-Syams ayat 7-10 secara
jelas dan pada hadits.
Landasan Pendidikan Jiwa
Tauhid
adalah landasan utama dalam mendidik jiwa. Tanpa landasan tauhid, bangunan
pendidikan jiwa tidak akan pernah berdiri kokoh. Karena tauhid adalah akar yang
menghunjam ke bawah, yang mendasari berdirinya bangunan-bangunan jiwa beserta
penopang-penopangnya.Sebaliknya, syirik atau dualism sebagai lawan tauhid tidak
mampu mendasari jiwa dalam meraih bangunan-bangunan dirinya, karena syirik
berasal dari akar yang lemah yang mudah tercabut, sehingga tiada satu bangunan
pun yang mampu berdiri dan bertahan di atasnya. Hal ini berbeda dengan corak
pendidikan jiwa Barat, yang lebih menekankan pada makna spiritual sebagai
potensi khas dalam jasad manusia atau merupakan bagian dari alam, tanpa
mengaitkan unsur tauhid dan wahyu sebagai landasannya.
Tujuan Pendidikan Jiwa
Pada
hakikatnya jiwa adalah fitrah karena pada hakikatnya manusia terlahir dalam
keadaan fitrah.Adapun terjadinya buruk baiknya, tergantung pendidikannya. Ia
menjadi baik karena ada usaha untuk memperbaikinya, dan ia menjadi buruk karena
ada usaha yang mengotorinya, maka dari itu diperlukan latihan untuk selalu
menjadikannya baik.
Kurikulum Pendidikan Jiwa
Kurikulum
pendidikan jiwa haruslah terintegrasi dengan tiga unsur jiwa yaitu akal, ghadhab, syahwat.
Metodologi Pendidikan Jiwa
Pendidikan
jiwa sebagai jalan dan latihan untuk merealisasikan kesucian batinm dalam upaya
menuju kedekatan dengan Allah memerlukan metodologi yang diringkas dalam tiga
tahapan.
1.
Tahapan Tahkliyah
2.
Tahapan Tahliyah
3.
Tahqiq Ubudiyyah
PENDIDIKAN
AQIDAH
Dewasa
ini pembahasan masalah Aqidah menjadi sesuatu yang terkesampingkan dalam
kehidupan, kecenderungan masyarakat yang hedonis menjadikan manusia lebih
memperhatikan dan memprioritaskan urusan-urusan dunia daripada hal-hal lainnya.
Ditambah lagi paham-paham liberalism dan pluralism dalam islam yang
dilatarbelakangi oleh western worldview
(pandangan kehidupan barat) dirasa sangat mendangkalkan pemahaman dan keimanan,
sehingga pemahaman dan pengamalan tauhid menjadi dangkal, sehingga menimbulkan
banyak penyimpangan aqidah di tengah-tengah umat islam, padahal akidah
merupakan bagian tertinggi dari ajaran islam, yang berperan penting dalam
membentuk pribadi-pribadi tangguh, yang dapat merefleksikan kalimat “La ilaha
illa Allah” dan “Muhammad rasulullah” (tiada Tuhan selain Allah, Nabi Muhammad
saw rasul Allah).
Diantara
penyebab utama penyimpangan dalam aqidah adalah faktor kebodohan terhadap
aqidah shahihah (aqidah yang benar).
Hal ini tidak lain karena tidak mau mempelajari dan mengajarkannya, atau karena
kurangnya perhatian terhadapnya. Sehingga tumbuh suatu generasi yang tidak
mengenal aqidah shahihah dan tidak
mengetahui lawan-lawannya.Akibatnya, terjadilah syubhat atau syak (keraguan),
yaitu menyakini yang benar sebagai sesuatu yang bathil dan yang bathil dianggap
sebagai sesuatu yang benar.
Selain
itu juga disebabkan faktor ta’ashshub (fanatic) kepada sesuatu yang diwarisi
dari bapak dan nenek moyangnya, sekalipun hal itu bathil, dan menentang apa
saja yang dianggap tidak sesuai dengan warisan nenek moyang itu, sekalipun hal
itu benar.
Ada
pula yang disebabkan karena taqlid buta, yaitu dengan mengambil pendapat
manusia dalam masalah aqidah tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa menyelidiki
seberapa jauh kebenarannya.Sebagaimana yang terjadi pada golongan-golongan
seperti Mu’tazilah, Jahmiyah, Qadariyyah dan para pengikutnya dari kelompok
liberal abad ini.
Lebih
dari itu, ada juga faktor ghuluw (berlebihan)
dalam mencintai para wali dan orang-orang shalih, serta memposisikannya
melebihi kapasitasnya, sehingga menyakini ada unsur ketuhanan (uluhiyyah) pada dirinya, yang mampu
mendatangkan kemanfaatan, maupun menolak bahaya. Dari sini, terjadi proses
transformasi dari penyembahan kepada khaliq, menjadi penyembahan makhluk kepada
makhluk, baik dalam hal ber-taqarrub,
nadzar, doa,
istighatsah dan meminta pertolongan.
Sebagaimana yang terjadi pada kaum syiah yang menjadikan para imam-imam mereka
melebihi kapasitasnya, dan memposisikannya diatas derajat Nabi dan Rasul,
bahkan menyamakannya dengan derajat uluhiyyah.
Kajian Teoritis
Aqidah
menurut bahasa (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu yang berarti ikatan,
at-tautsiiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu yang
berarti mengokohkan (menetapkan) dan ar-rabthu biquwwah yang berarti mengikat
dengan kuat.
Sedangkan
menurut istilah (terminologi), aqidah adalah keimanan yang teguh dan bersifat
pati kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat
kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya,
Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh
apa-apa yang telah shahih tentang tentang prinsip-prinsip agama (Ushuluddin),
perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (consensus)
dari salafush shalih, serta seluruh berita-berita qathi’ (pasti), baik secara
ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Quran dan
As-Sunnah yang shahih serta ijma salafush shalih.
Kajian Tafsir
Pada bab ini kajian tafsir
mencakup Q.S Al-Anbiyaa ayat 51-70.
Pada
ayat 51 disebutkan tentang profil Nabi Ibrahim yang memiliki “rusyd”,
kecerdasan berpikir yang dibimbing oleh wahyu Allah, sehingga mampu membedakan
perbuatan yang benar (haq) dan yang salah (bathil).
Pada
ayat 52-55 disebutkan tentang contoh kecerdasan Nabi Ibrahim yang mengajak
kaumnya untuk berpikir ulang tentang keyakinan mereka atas berhala-berhala
sesembahan yang tidak mendatangkan manfaat, ataupun bahaya. Ibnu katsir melihat bahwa inilah
petunjuk yang diberikan pada Ibrahim ketika dia kecil.
Setelah
Nabi Ibrahim menunjukkan kesesatan kaumnya dalam masalah konsep Tuhan yang
lebih diarahkan pada konsep materialistik, maka pada ayat 56 menyebutkan
tentang ajakan Ibrahim kepada tauhid rububiyyah, uluhiyyah dan asma’ wasshifat.
Menurut Ibnu Katsir pada ayat ini Nabi Ibrahim mengajarkan pada kaumnya tentang
konsep Tuhan yang Haq, yaitu Allah yang telah menciptakan langit dan bumi tanpa
pola yang ditirunya, serta menciptakannya segala sesuatu. Untuk itu hanya Allah
yang patut diibadahi, bukan tuhan lain, yang tidak dapat melakukan semua itu.
Pada
ayat 57-58, secara jelas menyebutkan sikap Nabi Ibrahim yang tegas dalam
menindak dan menghapuskan segala kesyirikan dan sarana-sarana pendukung
kesyirikan.Al-Maraghi berpendapat bahwa ayat ini merupakan keberanian sikap Ibrahim,
yang berpegang teguh pada pencegahan kemunkaran dan memusnahkan kebatilan,
serta menyapu bersih bekas-bekasnya.
Pada
ayat 59-70 menceritakan ujian bagi penyeru tauhid, yaitu dengan memunculkan
ancaman dan tekanan dari mush-musuh tauhid. Demikian juga, ayat ini
menceritakan pertolongan Allah terhadap penyeru tauhid.
Kajian Implementatif
Tujuan Aqidah Islamiyah
Pendidikan
Aqidah Islam
mempunyai banyak tujuan yang baik yang harus dipegang teguh, yaitu:
1.
Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah kepada Allah
semata.
2.
Membebaskan akal dan pikiran dari kekeliruan yang
timbul karena jiwa yang kosong dari aqidah.
3.
Ketenangan jiwa dan pikiran, terhindar dari
kecemasan dalam jiwa dan kegoncangan pikiran.
4.
Meluruskan tujuan dan perbuatan dari penyelewengan
dalam beribadah kepada Allah dan dalam bermuamalah dengan orang lain.
5.
Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dan tidak
melewatkan kesempatan beramal
kebajikan, selalu digunakannya dengan baik untuk mengharap pahala.
6.
Menciptakan umat yang kuat yang mengerahkan segala
daya dan upaya untuk menegakkan agama Allah serta memperkuat tiang
penyanggahnya tanpa peduli apa yang akan terjadi ketika menempuh jalan itu.
7.
Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan
memperbaiki pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok serta meraih pahala dan
kemuliaan.
Ruang Lingkup Materi Aqidah
Secara
umum, ruang lingkup pendidikan aqidah mencakup rukun iman yang enam yaitu:
1.
Beriman kepada Allah
2.
Beriman kepada Malaikat Allah
3.
Beriman kepada Kitab-kitab Allah
4.
Beriman kepada Para Rasul Allah
5.
Beriman kepada hari Akhir
6.
Beriman kepada Qadha dan Qadar
Metode Pendidikan Aqidah
1.
Metode hiwar, baik hiwar washfi (dialog deskriptif),
maupun hiwar jadali (dialog argumentatif).
2.
Metode Ibrah dan Mau’izah.
3.
Metode Demonstrasi
4.
Metode Ceramah
5.
Metode Targhib dan Tarhib
0 Comments:
Post a Comment
<< Home